Kamis, 13 Desember 2012

BALADA RUJAK CINGUR MBOK SUMI

Ini adalah cerpen pertama saya. Dan saya pun heran, kok bisa ya saya merangkai cerpen. Padahal jarang sekali saya menulis. Mungkin saya sudah kangen untuk menulis. :D

BALADA RUJAK CINGUR MBOK SUMI



“Rujak…rujakk…., rujak e Bu. Rujak Mas……” kata Mbok Sumi sembari menjajakan dagangannya.
“Mbok Sum, rujaknya satu ya.” pinta Bu Lurah kepada Mbok Sumi. Bu Lurah adalah salah satu pembeli setia Mbok Sumi.
“Iya, Bu Lurah. Sebentar” jawab Mbok Sumi sembari melayani pesanan Bu Lurah.
Sesaat kemudian…
“Ini, Bu Lurah, rujaknya. Spesial buat Bu Lurah, pake cingur, lombok 10, dan uleg an cinta dari saya, Bu. Monggo, silakan dinikmati.” canda Mbok Sumi kepada Bu Lurah.
“Wah, benar sekali Mbok Sum. Mantap nih, buat makan siang. Kalau Mbok Sum nggak jualan, saya sering kepikirian rujaknya sih. Habis rujaknya enak banget, Mbok. Makasih ya Mbok.” kata Bu  Lurah sembari membayar rujaknya.

Beginilah kehidupan sehari-hari dari Sumi Dharminingsih. Iya, Mbok Sumi adalah perantau asal Surabaya yang kini tinggal di Kota Yogyakarta. Mbok Sumi menikah dengan pria Yogyakarta, bernama Slamet. Dari pernikahannya, Mbok Sumi dianugerahi dua orang anak, Budi dan Nimas. Budi sejak lahir  memiliki keterbelakangan mental. Budi terlahir dengan tangan cacat dan tuna rungu.

Mbok Sumi hanya seorang diri mengasuh dan merawat putra putrinya. Suaminya, Pak Slamet kini entah di mana keberadaannya setelah pergi tanpa kabar.
“Pak, mau ke mana malam-malam, gini. Di luar hujan deras sekali, Pak. Apa nggak sebaiknya besok saja, Bapak perginya?.” kata Mbok Sumi kepada suaminya sembari menidurkan Nimas.
“Alah..Sum..Sum.. kau tak perlu nasehati aku. Aku pergi untuk cari kebebasan. Cari hiburan. Empet Bapak lama-lama di sini ngurusin anak cacat kayak si Budi itu, Sum. Nggak ada yang bisa dibanggakan dari dia” jawab Pak Slamet.
“Pak….tutup mulut Bapak. Bapak sebagai orang tua tidak pantas berlaku seperti itu. Mengapa, kau sampai hati tidak mau menerima bahwa Budi itu anak kita? Dia itu titipan Gusti Allah, Bapak… mengapa Bapak sampai hati membencinya?” kata Mbok Sumi sambil menangis tersedu-sedu dan menggenggam erat tangan suaminya.
“Arghhh…lepaskan tanganku, Sum. Ini semua salahmu, Sum. Gara-gara orang tuamu dulu yang pincang sekarang jadi lah Budi yang cacat tangannya.  Tuli lagi. Atau mungkin, ini memang bukan anak kandungku? Keturunan keluargaku tidak ada yang cacat seperti Budi. Atau kau main selingkuh di belakangku, Sum?”
“Plakk….” tamparan Mbok Sumi mendarat di pipi suaminya. Mbok Sumi rasanya sudah tidak kuat untuk menahan amarahnya.
“Tutup mulut, Bapak. Kalau Bapak tidak mau mengakui Budi anak kandungmu, ya sudah silakan angkat kaki dari sini, Pak. Keluar !!!” gertak Mbok Sum kepada suaminya.
“Baik…baik….saya akan angkat kaki dari sini. Saya sudah bosan hidup miskin. Hidup dengan orang cacat. Minggir….!” jawab Pak Slamet sembari meninggalkan rumah.

Sejak peristiwa itulah, Mbok Sumi bertekad untuk membiayai segala kebutuhan anaknya. Mulai dari kebutuhan sekolah Budi dan Nimas hingga kebutuhan sehari-hari mereka.
Meskipun Budi anaknya tuna rungu dan cacat, namun dialah yang membantu Mbok Sumi berjualan dagangannya. Sebelum Mbok Sumi menjajakan dagangannya dengan berjalan kaki, Mbok Sumi menjajakan dagangannya di sekolah Budi sembari mengasuh Nimas. Budi rajin membantu ibunya berjualan. Mereka pun menjalaninya dengan tekun dan ikhlas.
“Bud, rujak cingurnya satu ya. Pedes” pesan Rudi, teman sekelas Budi kepada Budi. Tentunya juga dengan bahasa isyarat yang memudahkan Budi memahaminya.
“Oke, Rud.” jawab Budi sembari menyampaikan pesanannya kepada ibunya.
Bagi Mbok Sum, menjadi seorang pedagang itu harus siap menanggung resikonya. Ia kerap dicibir dan dihina masyarakat karena status jandanya dan keadaan Budi yang kekurangan. Selain itu juga gelagat busuk dari para pesaingnya yang kerap diterima Mbok Sum. Namun Mbok Sum hanya bisa “nrimo” dan menyerahkan semua pada Gusti Allah.

Tumbuh dari keluarga yang sederhana, Budi menjadi anak yang percaya diri dan tidak merasa rendah diri dengan keadaannya saat ini. Budi pernah menjadi juara pertama pidato Bahasa Inggris sekabupaten tingkat SLB, juara kedua karaoke sekecamatan, juara catur, dll. Ia pun juga sangat menyayangi adiknya, Nimas.
Lain Budi, lain halnya Nimas. Nimas juga merasa tidak senang atas kehadiran kakaknya. Ia merasa malu mempunyai kakak yang tuli dan cacat. Ia pun sering diejek oleh teman-temannya karena mempunyai kakak yang cacat.
“Idih, Nimas..Nimas….siapa ini orang cacat di sampingmu itu?” ledek Mawar, teman sekelas Nimas.
“Ehmm…..emm….dia … dia…pengemis Mawar. Sengaja aku ajak dia ke warung untuk makan. Kasihan sekali nampaknya.” sahut Nimas kepada Mawar.

Mengetahui jawaban Nimas tersebut, Budi merasa kecewa dan sedih kepada dirinya sendiri. Ternyata, adik yang ia sayangi, kini justru malah membencinya. Kehadirannya kini, tampaknya sangat tidak diinginkan adiknya.
Namun hal itu masih dimaafkan oleh Budi sebagai kakaknya. Meskipun dengan kondisi yang terbatas, Budi ingin menjadi kakak yang baik untuk adiknya dan keluarganya. Ibunya yang mengajarkan kepadanya tentang pentingnya berbuat baik bagi sesama meskipun itu dalam kondisi sulit sekalipun.

Tahun demi tahun terus berganti.
Berkat kerja keras, kejujuran dan doa yang sungguh-sungguh dari Mbok Sumi, kini usaha Mbok Sumi laris manis. Mengingat dulu banyak hinaan dan cacian yang menimpa Mbok Sumi, kini Gusti Allah telah mengganti itu semua. Mbok Sumi dipercaya oleh Bu Lurah untuk mengelola kateringnya miliknya. Maklum, Bu Lurah adalah pelanggan setianya Mbok Sumi. Beliau paham betul selera masyarakat saat ini. Namun, Mbok Sumi juga tidak melupakan aktivitasnya sebagai penjual rujak cingur yang kini telah mendapat tempat di hati masyarakat karena kelezatannya.

Sementara Budi, kini telah bekerja menjadi seorang wiraswasta. Ia membuka kursus Bahasa Inggris dan menjadi guru privat untuk anak sekolah.  Nimas pun kini merasa menyesal atas apa yang telah ia lakukan kepada kakaknya. Tanpa bantuan kakaknya, kini Nimas tidak akan bisa bersekolah hingga sekolah menengah atas.

Terbayar sudah pengorbanan Mbok Sumi dan keluarganya. Kini Budi dan Nimas bisa hidup akur dan utuh layaknya keluarga pada umumnya walaupun tanpa kehadiran seorang ayah. Demikian juga Mbok Sumi. Mbok Sumi merasa bahagia di tengah usia yang semakin senja ini. Rasa syukur yang teramat sangat selalu ia panjatkan kepada Sang Pencipta. Mbok Sumi hanya meminta sedikit permintaan agar keluarga yang dimilikinya saat ini bisa tetap utuh sampai maut memisahkan mereka.

Cerpen ini saya persembahkan khusus untuk mereka kaum disabel. Bahwa tidak ada diskriminasi dan eksklusi bagi kaum disabel saat ini. Selamat Hari Disabel Internasional 2012.Torehkan terus semangatmu dan patuhilah kedua orang tuamu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar