Ini adalah cerpen pertama saya. Dan saya pun heran, kok bisa ya saya merangkai cerpen. Padahal jarang sekali saya menulis. Mungkin saya sudah kangen untuk menulis. :D
“Rujak…rujakk…., rujak e Bu. Rujak Mas……” kata Mbok Sumi sembari menjajakan dagangannya.
“Mbok Sum, rujaknya satu ya.” pinta Bu Lurah kepada Mbok Sumi. Bu Lurah adalah salah satu pembeli setia Mbok Sumi.
“Iya, Bu Lurah. Sebentar” jawab Mbok Sumi sembari melayani pesanan Bu Lurah.
Sesaat kemudian…
“Ini, Bu Lurah, rujaknya. Spesial buat Bu Lurah, pake cingur, lombok
10, dan uleg an cinta dari saya, Bu. Monggo, silakan dinikmati.” canda
Mbok Sumi kepada Bu Lurah.
“Wah, benar sekali Mbok Sum. Mantap nih, buat makan siang. Kalau Mbok
Sum nggak jualan, saya sering kepikirian rujaknya sih. Habis rujaknya
enak banget, Mbok. Makasih ya Mbok.” kata Bu Lurah sembari membayar
rujaknya.
Beginilah kehidupan sehari-hari dari Sumi Dharminingsih. Iya, Mbok
Sumi adalah perantau asal Surabaya yang kini tinggal di Kota Yogyakarta.
Mbok Sumi menikah dengan pria Yogyakarta, bernama Slamet. Dari
pernikahannya, Mbok Sumi dianugerahi dua orang anak, Budi dan Nimas.
Budi sejak lahir memiliki keterbelakangan mental. Budi terlahir dengan
tangan cacat dan tuna rungu.
Mbok Sumi hanya seorang diri mengasuh dan merawat putra putrinya.
Suaminya, Pak Slamet kini entah di mana keberadaannya setelah pergi
tanpa kabar.
“Pak, mau ke mana malam-malam, gini. Di luar hujan deras sekali, Pak.
Apa nggak sebaiknya besok saja, Bapak perginya?.” kata Mbok Sumi kepada
suaminya sembari menidurkan Nimas.
“Alah..Sum..Sum.. kau tak perlu nasehati aku. Aku pergi untuk cari
kebebasan. Cari hiburan. Empet Bapak lama-lama di sini ngurusin anak
cacat kayak si Budi itu, Sum. Nggak ada yang bisa dibanggakan dari dia”
jawab Pak Slamet.
“Pak….tutup mulut Bapak. Bapak sebagai orang tua tidak pantas berlaku
seperti itu. Mengapa, kau sampai hati tidak mau menerima bahwa Budi itu
anak kita? Dia itu titipan Gusti Allah, Bapak… mengapa Bapak sampai
hati membencinya?” kata Mbok Sumi sambil menangis tersedu-sedu dan
menggenggam erat tangan suaminya.
“Arghhh…lepaskan tanganku, Sum. Ini semua salahmu, Sum. Gara-gara
orang tuamu dulu yang pincang sekarang jadi lah Budi yang cacat
tangannya. Tuli lagi. Atau mungkin, ini memang bukan anak kandungku?
Keturunan keluargaku tidak ada yang cacat seperti Budi. Atau kau main
selingkuh di belakangku, Sum?”
“Plakk….” tamparan Mbok Sumi mendarat di pipi suaminya. Mbok Sumi rasanya sudah tidak kuat untuk menahan amarahnya.
“Tutup mulut, Bapak. Kalau Bapak tidak mau mengakui Budi anak
kandungmu, ya sudah silakan angkat kaki dari sini, Pak. Keluar !!!”
gertak Mbok Sum kepada suaminya.
“Baik…baik….saya akan angkat kaki dari sini. Saya sudah bosan hidup
miskin. Hidup dengan orang cacat. Minggir….!” jawab Pak Slamet sembari
meninggalkan rumah.
Sejak peristiwa itulah, Mbok Sumi bertekad untuk membiayai segala
kebutuhan anaknya. Mulai dari kebutuhan sekolah Budi dan Nimas hingga
kebutuhan sehari-hari mereka.
Meskipun Budi anaknya tuna rungu dan cacat, namun dialah yang
membantu Mbok Sumi berjualan dagangannya. Sebelum Mbok Sumi menjajakan
dagangannya dengan berjalan kaki, Mbok Sumi menjajakan dagangannya di
sekolah Budi sembari mengasuh Nimas. Budi rajin membantu ibunya
berjualan. Mereka pun menjalaninya dengan tekun dan ikhlas.
“Bud, rujak cingurnya satu ya. Pedes” pesan Rudi, teman sekelas Budi
kepada Budi. Tentunya juga dengan bahasa isyarat yang memudahkan Budi
memahaminya.
“Oke, Rud.” jawab Budi sembari menyampaikan pesanannya kepada ibunya.
Bagi Mbok Sum, menjadi seorang pedagang itu harus siap menanggung
resikonya. Ia kerap dicibir dan dihina masyarakat karena status jandanya
dan keadaan Budi yang kekurangan. Selain itu juga gelagat busuk dari
para pesaingnya yang kerap diterima Mbok Sum. Namun Mbok Sum hanya bisa
“nrimo” dan menyerahkan semua pada Gusti Allah.
Tumbuh dari keluarga yang sederhana, Budi menjadi anak yang percaya
diri dan tidak merasa rendah diri dengan keadaannya saat ini. Budi
pernah menjadi juara pertama pidato Bahasa Inggris sekabupaten tingkat
SLB, juara kedua karaoke sekecamatan, juara catur, dll. Ia pun juga
sangat menyayangi adiknya, Nimas.
Lain Budi, lain halnya Nimas. Nimas juga merasa tidak senang atas
kehadiran kakaknya. Ia merasa malu mempunyai kakak yang tuli dan cacat.
Ia pun sering diejek oleh teman-temannya karena mempunyai kakak yang
cacat.
“Idih, Nimas..Nimas….siapa ini orang cacat di sampingmu itu?” ledek Mawar, teman sekelas Nimas.
“Ehmm…..emm….dia … dia…pengemis Mawar. Sengaja aku ajak dia ke warung
untuk makan. Kasihan sekali nampaknya.” sahut Nimas kepada Mawar.
Mengetahui jawaban Nimas tersebut, Budi merasa kecewa dan sedih kepada
dirinya sendiri. Ternyata, adik yang ia sayangi, kini justru malah
membencinya. Kehadirannya kini, tampaknya sangat tidak diinginkan
adiknya.
Namun hal itu masih dimaafkan oleh Budi sebagai kakaknya. Meskipun
dengan kondisi yang terbatas, Budi ingin menjadi kakak yang baik untuk
adiknya dan keluarganya. Ibunya yang mengajarkan kepadanya tentang
pentingnya berbuat baik bagi sesama meskipun itu dalam kondisi sulit
sekalipun.
Tahun demi tahun terus berganti.
Berkat kerja keras, kejujuran dan doa yang sungguh-sungguh dari Mbok
Sumi, kini usaha Mbok Sumi laris manis. Mengingat dulu banyak hinaan dan
cacian yang menimpa Mbok Sumi, kini Gusti Allah telah mengganti itu
semua. Mbok Sumi dipercaya oleh Bu Lurah untuk mengelola kateringnya
miliknya. Maklum, Bu Lurah adalah pelanggan setianya Mbok Sumi. Beliau
paham betul selera masyarakat saat ini. Namun, Mbok Sumi juga tidak
melupakan aktivitasnya sebagai penjual rujak cingur yang kini telah
mendapat tempat di hati masyarakat karena kelezatannya.
Sementara Budi, kini telah bekerja menjadi seorang wiraswasta. Ia
membuka kursus Bahasa Inggris dan menjadi guru privat untuk anak
sekolah. Nimas pun kini merasa menyesal atas apa yang telah ia lakukan
kepada kakaknya. Tanpa bantuan kakaknya, kini Nimas tidak akan bisa
bersekolah hingga sekolah menengah atas.
Terbayar sudah pengorbanan Mbok Sumi dan keluarganya. Kini Budi dan
Nimas bisa hidup akur dan utuh layaknya keluarga pada umumnya walaupun
tanpa kehadiran seorang ayah. Demikian juga Mbok Sumi. Mbok Sumi merasa
bahagia di tengah usia yang semakin senja ini. Rasa syukur yang teramat
sangat selalu ia panjatkan kepada Sang Pencipta. Mbok Sumi hanya meminta
sedikit permintaan agar keluarga yang dimilikinya saat ini bisa tetap
utuh sampai maut memisahkan mereka.
Cerpen ini saya persembahkan khusus untuk mereka kaum disabel.
Bahwa tidak ada diskriminasi dan eksklusi bagi kaum disabel saat ini. Selamat Hari Disabel Internasional 2012.Torehkan terus
semangatmu dan patuhilah kedua orang tuamu.